Sulitnya Para Petani Sawit di Kaltim Mendapatkan Sertifikasi RSPO

Ditulis oleh: Nur Azizah, S.Sos

Jendelakaltim.id, Samarinda – Perkebunan kelapa sawit menjadi tulang punggung ekonomi di Kalimantan ľimur sejak 1982 dengan luas mencapai 1.374.543 hektar pada 2020. Indonesia, sebagai produsen utama minyak sawit dunia, mendapatkan manfaat ekonomi dari industri ini, terutama dengan meningkatnya permintaan global dari negara seperti India dan China (Veriasa, 2024). Namun, petani kecilsering kali merasakan ketidakadilan harga, karena mereka belum memiliki akses ke pasar global akibat standar sertifikasi yang ketat. Round table on Sustainable Palm Oil (RSPO) memberikan sertifikasi bagi minyak sawit yang berkelanjutan, memastikan praktik produksi ramah lingkungan, menghormati hak-hak lokal, dan memungkinkan akses ke pasar internasional yang mengutamakan keberlanjutan (DeVos,2023).

Tata kelola transnasional dan kompleksitas rezim.

Ketegangan antara lingkungan dan perdagangan dalam sertifikasi berkelanjutan muncul karena standar internasional menguntungkan beberapa pihak, sementara merugikan yang lain. Regulator dapat menyesuaikan aturan sesuai kebutuhan mereka, sehingga biaya peralihan menjadi lebih tinggi bagi pelaku lain. Meskipun sertifikasi disesuaikan dengan konteks nasional, pelaku dengan keterbatasan teknis dan keuangan, seperti petani kecil, tetap menghadapi tantangan operasional.

‘Efek California’ dan penegakan standar keberlanjutan dalam pasar global yang terus berubah

Efek California melibatkan dimensi non-pemerintah yang signifikan, di mana aktivis di negara maju menekan perusahaan multinasional yang merusak lingkungan melalui boikot. Tekanan ini efektif terutama di kawasan konservasi dan memaksa perusahaan multinasional serta subkontraktornya di negara berkembang untuk menerapkan standar lingkungan yang sama di semua lokasi operasi mereka.

Biaya kepatuhan petani kecil terhadap standar lingkungan global

Biaya pemenuhan standar sangat tinggi bagi pemerintah dan perusahaan di negara berkembang, terutama untuk memperoleh sertifikasi melalui audit berkelanjutan. Biaya ini bergantung pada ketersediaan auditor lokal yang memenuhi syarat, dan jika tidak ada, pemerintah mungkin harus menanggung biaya pendirian layanan audit (Husin, 2023). Meski ada auditor lokal, pengakuan internasional bagi perusahaan yang disertifikasi mungkin tidak setara, yang menyulitkan perusahaan kecil dan menengah.

• GAPKI dan dinamikanya dalam RSPO

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) tidak terlibat dalam pembentukan awal RSPO, mereka cenderung tidak mendukung dan memfasilitasi penerapannya di lapangan.

• Perbedaan kerangka regulasi RSPO dan Indonesia

Hambatan kelembagaan penerapan RSPO di Indonesia bukan hanya karena ketidakhadiran GAPKI (Ximenes, 2022). Menurut narasumber RSPO, tantangan utama adalah kemampuan regulasi Indonesia untuk terus menyelaraskan standar keberlanjutan dengan RSPO, yang berkembang lebih cepat daripada regulasi pemerintah. Untuk mengatasi ini, RSPO menerbitkan Interpretasi Nasional standar P&C bagi Indonesia, yang merujuk regulasi nasional dan lokal dalam menafsirkan standar RSPO.

• RSPO vs ISPO: kasus instrumen sukarela pasar vs instrumen wajib negara

RSPO dan ISPO serta kerangka regulasi Indonesia menunjukkan bahwa skema tata kelola swasta dan publik bisa saling melengkapi. Masih perlu dilihat apakah upaya penggabungan kedua skema untuk melacak rantai nilai minyak sawit dapat terwujud di masa depan.

1. Dampak Ekonomi bagi Petani

Tanpa sertifikasi RSPO, petani sulit mengakses pasar premium yang bersedia membayar lebih tinggi untuk minyak sawit berkelanjutan. Harga minyak sawit non-sertifikasi cenderung lebih rendah dan kurang diminati oleh pasar internasional, terutama di Eropa dan Amerika yang semakin mengutamakan produk berkelanjutan (Robertua, 2018). Petani non-sertifikasi juga kesulitan mendapatkan investasi atau pembiayaan dari lembaga keuangan yang hanya mendukung pihak tersertifikasi, membatasi akses mereka ke modal dan pasar.

2. Dampak Lingkungan

Sertifikasi RSPO mengharuskan penerapan praktik berkelanjutan, seperti pengelolaan lahan ramah lingkungan, pengurangan deforestasi, dan pengelolaan limbah. Tanpa sertifikasi, petani mungkin terus menggunakan praktik tradisional yang kurang berkelanjutan, seperti pembakaran lahan dan penggunaan pestisida berlebihan, yang merusak lingkungan. Petani non-sertifikasi juga kehilangan akses pelatihan dan edukasi tentang pertanian berkelanjutan, sehingga mereka tetap dalam praktik yang merugikan lingkungan jangka panjang.

3. Dampak Sosial bagi Petani dan Komunitas Sekitar

Petani kecil yang tidak tersertifikasi semakin terpinggirkan dalam rantai pasok minyak sawit, karena perusahaan besar lebih memilih sumber tersertifikasi. Ini memperbesar kesenjangan dalam akses pasar dan penghasilan. Tanpa sertifikasi, petani dan pekerja kehilangan perlindungan hak buruh, kondisi kerja, dan akses ke sumber daya alam, seperti air dan tanah, yang terancam oleh ekspansi perkebunan.

4. Dampak Reputasi dan Kepercayaan

Petani non-sertifikasi mungkin dipandang negatif oleh pembeli global yang peduli pada keberlanjutan, dengan produk mereka dianggap sebagai sumber deforestasi. Tanpa sertifikasi, mereka juga kehilangan akses ke jaringan RSPO untuk pengetahuan, dukungan, dan bantuan teknis.

5. Dampak Jangka Panjang bagi Kesejahteraan Petani

Industri minyak sawit bergerak menuju keberlanjutan, dengan negara dan perusahaan besar menetapkan target menggunakan minyak sawit bersertifikat. Tanpa sertifikasi, petani kecil kesulitan bersaing, berisiko keluar industri atau kehilangan permintaan. Regulasi ketat di negara tujuan ekspor, seperti Uni Eropa, membuat petani non-sertifikasi sulit beradaptasi dan membatasi kemampuan ekspor mereka.

Sertifikasi RSPO saat ini sulit dan mahal bagi petani kecil. Menyederhanakan prosedur administrasi dan biaya serta mengembangkan skema sertifikasi khusus untuk petani kecil, seperti sertifikasi kelompok, dapat membantu. Pemerintah atau lembaga donor juga dapat memberikan subsidi untuk mengurangi biaya sertifikasi.

Banyak petani kecil kesulitan memenuhi standar RSPO, terutama terkait praktik pertanian berkelanjutan. Pemerintah dan NGO harus memberikan pendampingan teknis dan pelatihan intensif, dengan melibatkan ahli agronomi untuk mendampingi petani dalam menyusun rencana keberlanjutan sesuai standar RSPO.

Pemerintah dapat mendorong kemitraan antara perusahaan besar dan koperasi petani kecil, dengan dukungan teknis, finansial, dan akses pasar. Ini juga bisa melibatkan kontrak jangka panjang dengan perusahaan RSPO yang memberi jaminan pasar. Perusahaan besar juga dapat menggunakan dana CSR mereka untuk membantu petani kecil memperoleh sertifikasi.

Penguatan Kelembagaan dan Pengembangan Koperasi Petani

Petani kecil dapat bergabung dalam koperasi atau kelompok tani untuk memenuhi syarat sertifikasi RSPO dan mengakses pasar lebih luas. Koperasi yang didukung pemerintah akan membantu petani berbagi sumber daya, mengumpulkan dana, dan memfasilitasi sertifikasi secara kolektif.

Pengintegrasian Sertifikasi RSPO dengan Program Sertifikasi Nasional (ISPO)

Mendapatkan sertifikasi RSPO dan ISPO sulit bagi petani kecil. Pemerintah Indonesia dan RSPO harus mengharmonisasi standar keberlanjutan agar petani dapat memenuhi keduanya, mengurangi beban sertifikasi ganda, dan mempercepat adopsi oleh petani kecil.

Peningkatan Koordinasi Pemerintah, Lembaga Internasional, dan NGO

Pemangku kepentingan harus bekerja sama untuk mendukung petani kecil mencapai sertifikasi RSPO. Pemerintah perlu membentuk forum lintas sektor yang melibatkan lembaga pemerintah, NGO, organisasi petani, dan sektor swasta. Lembaga donor internasional seperti Bank Dunia dan UNDP dapat memberikan dukungan keuangan dan teknis.

 

DAFTAR PUSTAKA

Husin, Saleh, Chandra Wijaya, A Hanief, Saha Ghafur, T M Zakir Machmud, and Eugenia Mardanugraha, ‘Trade Policies Support for Palm Oil Downstreaming in Indonesia, Journal of Economics and Policy, 16.2 (2023), 302-22 <https://journal.unnes.ac.id/nju/jejak/article/view/47199>

Robertua, V, ‘Dekonstruksi dan Rekonstruksi Tata Kelola Lingkungan Global: Studi Kasus Badan Restorasi Gambut, Jurnal Studi Asia Pasifik, 2018 <http://ejournal.uki.ac.id/index.php/japs/article/view/789>

Veriasa, Thomas Oni, Margaretha Nurrunisa, dan Nurchalis Fadhli, ‘Meninjau Kembali Implikasi Sertifikasi Petani Kecil RSPO Terkait Produktivitas Pertanian di Riau, Indonesia’, Forest and Society, 8.1 (2024), 123-39 <https://doi.org/10.24259/fs.v8i1.26964>

de Vos, Rosanne E, Aritta Suwarno, Maja Slingerland, Peter J. van der Meer, dan Jennifer M. Lucey, ‘Kondisi Pra-Sertifikasi Petani Kelapa Sawit Swadaya di Indonesia. Menilai Prospek Sertifikasi RSPO, Pengelolaan Lahan

Kebijakan Penggunaan, 130 Maret (2023), 106660

<https://doi.org/10.1016/j.landusepol.2023.106660>

Ximenes, L, R Nurmalina, dan A Rifin, ‘Analisis Persaingan Produk Turunan Kelapa Sawit Indonesia di Pasar Italia, Jurnal Manajemen & Agribisnis, 2022 <https://journal.ipb.ac.id/index.php/jmagr/article/view/42774>

 

Ditulis oleh: Nur Azizah, S.Sos

Mahasiswa Magister Administrasi Publik Universitas Mulawarman

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button